Senja, pada pukul lima
dua puluh lima menit.
Aku terduduk dalam diam di sebuah cafe yang lumayan tenang.
Menatap langit sambil sesekali minum kopi atau minum kopi sambil sesekali
menatap langit—entahlah. Langit kali ini—seharusnya—sangat indah, guratan
warna pelangi seperti mahkota menghiasi langit yang cerah ini. Merah, jingga,
kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Berpadu menjadi abu-abu dalam
penglihatanku—semu.
Pelangi ini mengingatkanku pada dia yang sangat aku sayangi
dalam suatu hubungan yang begitu indah. Sering, beberapa orang menganggap aku
bermimpi tentang bagaimana aku memiliki hubungan seindah ini—dulu. Semua
berjalan indah. Berbagi apa saja yang bisa kami bagi, entah bahagia pun duka.
Aku buka kembali beberapa album dalam telepon genggamku, bukti
kami benar-benar sebahagia itu. Tertawa penuh bahagia, dalam sorot mata penuh
percaya, juga janji—bahwa kita akan tetap seperti ini. Beberapa orang pernah
mengatakan, kami terpilih, karna Sang Pencipta begitu baik mempertemukan dua
hati yang benar-benar tulus menjalin hubungan seperti ini. Pun mereka katakan
kami perlu hati-hati jika kelak jarak menjauhi. Tak ada perkataan mereka yang
aku dengar—kala itu.
Aku yakin betul kami akan selalu mengasihi, berbagi cinta
dengan sepenuh hati—tanpa pamrih. Selain kami berdua, beberapa orang pun masuk
dalam lingkaran ini. Aku menjadi sangat yakin hubungan ini begitu mudah
dijalani, semua akan terus baik-baik saja. Sampai kemudian aku menyadari, ada
yang salah dalam hubungan ini. Beberapa kali aku memperingati kelak hubungan
ini akan menjadi abu-abu, tak lagi berpelangi—tak ia hiraukan.
Perlahan namun pasti, tujuh warna pelangi memudar, menjadi
satu yaitu abu-abu—seperti kami. Kini kami memilih jalan sendiri-sendiri, jalan
yang—untukku—begitu berbahaya untuk dilalui sendiri. Namun, aku sudah terlanjur
sendiri. Kami, terpisah oleh sesuatu yang dulu sudah pernah mereka peringati,
jarak—walau bukan dalam arti yang sebenarnya.
Jarak itu sudah begitu jauh untuk akhirnya kami kembali. Kami—aku
entah ia pun rasakan juga—sudah tidak lagi mungkin kembali. Jarak memisah-paksa-kan
kami. Aku bahkan tidak bisa lagi melihat senyum cerianya, mendengar suara
gaduhnya, merasakan hangat hatinya.
Beberapa kali kami berada dalam satu lokasi, namun hati sudah
begitu membeku untuk sekedar saling menghangatkan. Kami tersenyum getir. Aku,
bukan tidak ingin memperbaiki, namun aku tak mau ia tersakiti bila ia tau
sesakit ini untukku—tanpanya.
Seseorang begitu sangat baik membantukku memperbaiki, namun
semua sia-sia, karena justru kami—aku dan seseorang ini—saling melukai. Aku
gemetar hebat, kala itu, membaca pesan yang ia tuliskan. Aku terkhianati, ia
tersakiti.
Air mata pun mengalir sederas-derasnya, melihat tak ada lagi
namaku dalam sinar wajahnya—semoga tidak dalam hatinya. Jika ada yang ingin aku
miliki sekarang ini, hanya abu-abu ini kembali menjadi pelangi. Masih banyak
mimpi yang belum terealisasi atas nama kami. Semoga kelak kami masih menjadi
orang terpilih hingga hubungan ini dapat kembali. Bersama kembali, berbagi
kasih tanpa pamrih. Satu sama lain menjadi pilar untuk bersandar ketika letih. Ya,
semoga, kelak, suatu saat nanti.
Semoga ini menjadi bukti, bahwa aku masih begitu menyayangi.
0 komentar:
Posting Komentar